Bopeng, kemarau dan miskin. Itulah tiga kata yang bisa menggambarkan
keadaan Nauru saat ini. Sebuah negara kecil seluas 'telapak tangan' di
daerah Pasifik Selatan Mikronesia, 500 km dari dari pulau Papua. Ironis,
karena negara berarea 21km persegi ini selama 30 tahun pernah tercatat
sebagai salah satu negara terkaya di dunia. Pendapatan perkapitanya pada
tahun 1981 mencapai 17.000 dolar, bandingkan dengan Indonesia yang
hanya 530 dolar perkapita di tahun yang sama. Dengan pendapatan setinggi
itu dan jumlah penduduk yang hanya 13 ribu jiwa (masih lebih banyak
penonton liga Indonesia lawan Arab Saudi tempo hari yang mencapai 90.000
jiwa) Nauru menjelma menjadi negara yang sangat kaya. Mereka membangun
gedung-gedung tinggi. Membeli mobil-mobil dan pesawat-pesawat komersial
mewah. Tak ada orang miskin di sana, apalagi gelandangan. Negara
mensubsidi kehidupan seluruh rakyatnya. Lebih dari 80% angkatan kerja
diangkat sebagai pegawai negeri. Para pegawai ini tidak terikat jam
kerja. Mereka boleh datang dan pergi sesuka hati. Para penganggur pun
disubsidi oleh negara. Pendek kata, saking kayanya Nauru, tanpa bekerja
pun para penduduk bisa hidup mewah. Rakyat tidak dikenakan pajak.
Pendidikan dan kesehatan gratis, pangan disubsidi, yang ingin sekolah ke
luar negeri diberi beasiswa. Bahkan saking manjanya, penduduk Nauru
enggan jadi pekerja lapangan. Pemerintahnya terpaksa mengimpor tenaga
kerja dari Australia, Cina, Kiribati dan Tuvalu.
Negara Phospat
Apa
yang membuat Nauru menjadi sebegitu kaya? tak lain karena kotoran
burung. Lebih dari 70% tanah Nauru terdiri atas endapan tahi burung
Guano yang menumpuk selama ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Hal ini
dikarenakan dulunya Nauru merupakan tempat bagi koloni besar burung
Guano. Kotoran burung ini menjadi phospat, yang berfungsi sebagai pupuk
tanaman.
Phospat ditemukan tahun 1899 dan mulai dieksplorasi tahun
1907. Saat itu Nauru masih menjadi bagian dari negara Australia. Setelah
diberi kemerdekaan pada 31 Januari 1968, pertambangan phospat dikuasai
putra daerah. Diperkirakan, jumlah phospat berkualitas tinggi di seluruh
Nauru 41 juta ton. Ini jumlah yang teramat besar. Bandingkan dengan
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, jumlah seluruh phospatnya
diperkirakan hanya 2,5 juta ton. Karena itu wajarlah kiranya negara yang
masuk dalam daftar negara terkecil di dunia itu disebut-sebut sebagai
negara phospat, dan diincar banyak negara.
Eksplorasi Berlebihan
Kekayaan
membuat Nauru terlena. Mereka mengeksplorasi phospat, yang menjadi
satu-satunya sandaran hidup negara itu secara besar-besaran, tanpa
memikirkan masa depan. Hal ini mengakibatkan dua masalah serius.
Pertama,
eksplorasi besar-besaran itu membuat cadangan phospat Nauru menipis.
Jumlah ekspornya menurun drastis dari dua juta ton pertahun ke Australia
dan Selandia Baru, menjadi hanya 33.000 ton saja tahun 2001. Pendapatan
perkapitanya turun dari 17.000 dolar ke angka 3.000 dolar. Tahun 2006
menjadi tahun yang sangat berat bagi Nauru karena
pertambangan-pertambangan besar Nauru tutup akibat ketiadaan phospat.
Yang masih beroperasi hanyalah pertambangan skala kecil yang tak terlalu
bisa diandalkan. Akibatnya sungguh mengerikan. Nauru kini bangkrut.
Hutang
mereka mencapai 240 juta dolar, lebih besar dari APBN mereka sendiri.
Nauru terpaksa melego propertinya untuk menutupi hutang seperti
gedung pencakar langit Nauru House, Sydney's Mercure Hotel and Royal
Randwick Shopping Center, hotel-hotel Downtowner and Savoy Park Plaza di
Melbourne. Meski demikian, hutang tetap belum lunas, masih tersisa 33
juta dolar. Nauru jatuh dalam kubangan kemiskinan. Membayar sewa gedung
saja mereka kini tak mampu. Beberapa waktu lalu, 30 orang perwakilan
Nauru di Sydney diusir dari gedung kantor mereka karena menunggak sewa.
Lapangan terbang mereka pun kini ditutup karena tak punya dana melakukan
perawatan. Di tengah kepanikan, pemerintah Nauru mengambil langkah
pragmatis, mereka menawarkan Nauru kepada Australia untuk menjadi tempat
pengungsian manusia-manusia perahu dengan imbalan 20 juta dolar. Namun,
karena masyarakat Nauru terbiasa hidup manja dan malas akibat
kemakmuran, mereka tidak tahu bagaimana cara mengurus para pengungsi
ini, akibatnya para pengungsi hidup terlantar dalam kondisi menyedihkan.
Kerusakan Lingkungan
Masalah
kedua Nauru adalah kerusakan lingkungan. Masalah ini tak kalah
seriusnya. Organisasi pecinta lingkungan Greenpeace mencatat, akibat
pertambangan yang membabi buta, 90% wilayah Nauru kini tak layak huni
(waste-land),dan memerlukan rehabilitasi secara besar-besaran. Nauru
menuntut Inggris, Australia dan Selandia Baru untuk membayar ganti rugi
atas kerusakan ekologinya, sebab perusahaan-perusahaan tambang yang
beroperasi di Nauru berasal dari negara-negara tersebut. Pada
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Australia setuju membayar 2,5
juta dolar Australia pertahun selama 20 tahun. Inggris dan Selandia
Baru, masing-masing membayar 12 juta dolar. Namun kompensasi ini sungguh
tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Tercatat, selain
merusak 90% wilayah Nauru, pertambangan juga menghancurkan 40% kehidupan
laut di Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economic Zone). Vegetasi hijau
dan habitat mamalia musnah. Jenis-jenis hewan di Nauru sangat sedikit,
bisa dihitung dengan jari.
Kini, masalah yang lebih gawat menanti di
depan mata. Akibat kerusakan lingkungan, lahan yang ada tak bisa
ditanami dan cadangan air menghilang.
Mereka terpaksa mengimpor
seluruh makanan dan minuman dari Australia. Sungguh mengkhawatirkan
kondisi negara kecil Nauru kini. Wilayah yang dulunya makmur dan subur
itu, kini panas dan gersang. Tak ada lagi kehijauan, hanya debu yang
menutup pandangan. (My)
**
Oh Nauru, Kian Pilu
Setelah
eksplorasi phospat besar-besaran selama puluhan tahun, kini Nauru
menuai akibatnya. Menurut investigasi Greenpeace, 90% wilayah Nauru
mengalami kerusakan parah dan perlu direhabilitasi. Itu berarti hanya
sekitar 2 km persegi saja wilayah Nauru yang layak huni. Greenpeace juga
menemukan sebaran racun akibat aktivitas pertambangan di tiga tempat.
Zat-zat beracun itu yakni Polychlorinated biphenyls (PCBs), Asbestos,
Polyvinyl chloride plastic (PVC) dan metal.
Kerusakan yang luar
biasa ini memerlukan masa rehabilitasi yang sangat lama dan biaya mahal.
Nauru harus mengimpor pupuk, humus, dan nutrien penting lainnya untuk
membangun kembali ekosistemnya. Biayanya sekitar 200 juta dolar dan
prosesnya memakan waktu 30 tahun. Hal paling krusial dilakukan adalah
mereklamasi kembali wilayah pertanian, sumber air bersih, peternakan,
dan plantasi pepohonan. Kalau langkah ini tak dilakukan, maka seluruh
penduduk Nauru harus bermigrasi ke daerah lain. Bila terus di Nauru
mereka akan menderita berbagai penyakit akibat pertambangan, kelaparan
dan ketiadaan air. Pilihan daerah migrasi adalah pulau-pulau kosong di
wilayah Kepulauan Pasifik.
Pemerintah Nauru berniat mereklamasi
kembali wilayahnya. Untuk itu tahun 1989, mereka mengajukan tuntutan
terhadap Australia di Pengadilan Internasional. Nauru menuntut Australia
untuk membayar kompensasi atas kerusakan lingkungan yang dilakukan
perusahaan pertambangannya. Perusahaan itu sendiri sebenarnya merupakan
konsorsium tiga negara, yakni Australia, Inggris dan Selandia Baru.
Australia mengelak dari tuntutan ini dan menuding Nauru sebagai pihak
yang seharusnya bertanggungjawab. Sebab negara ini merdeka dari
Australia tahun 1968. Dan sejak itu pertambangan phospat Nauru dikelola
putra daerah, bukan lagi oleh perusahaan konsorsium tersebut.
Tahun
1992, Pengadilan Internasional mengabulkan gugatan Nauru. Menurut mereka
Australia dan dua negara lainnya (Inggris dan Selandia Baru) harus ikut
bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan Nauru, karena mereka
ikut mengeksplorasi tambang ini sebelumnya.
Tahun 1993 tiga negara
tersebut diwajibkan untuk membayar ganti rugi. Australia harus membayar
kompensasi sebesar 107 juta dolar Australia, sedang Inggris dan Selandia
Baru, masing-masingnya 12 juta dolar.
Dinaungi Awan Kelabu
Bagaimanakah
masa depan Nauru selanjutnya? dinaungi awan kelabu. Kompensasi yang
diberikan tiga negara tersebut sama sekali tak menolong Nauru. Dana yang
ada justru dihabiskan untuk menghidupi Nauru. Bila dana habis tak jelas
bagaimana lagi nasib negara kecil ini. Sekarang saja, APBN Nauru
tinggal beberapa juta dolar saja.
Masih gelap bagaimana mereka
menyongsong masa depan. Satu-satunya tulang punggung perekonomian mereka
telah habis. Mereka tak punya potensi ekonomi lainnya seperti
pariwisata. Rakyat Nauru pun terbiasa malas, tidak tahu cara bekerja
keras. Kisah Nauru ini pelajaran bagi Indonesia. Bila kita terus
mengeksplorasi alam membabi buta, bukan mustahil di masa depan kita pun
akan bernasib sama. (My)
Republik Nauru
Luas Wilayah : 21 KM2
Bentuk Negara : Republik
Kepala Negara dan kepala pemerintahan: Presiden
Ibukota : Yaren
Agama : Protestan 58%, Katolik 24%, Konghucuc dan Taoisme 8%
Bahasa Nasional : Nauru
Mata Uang : Dollar Australia
Lagu Kebangsaan : "Anibare Bay"
Hasil Tani : -
Sumber Alam : Fosfat
Industri : Fosfat
Nauru
merupakan salah satu dari lima negara merdeka terkecil di dunia. Yang
lainnya adalah San Marino,Tuvalu, Gibraltar dan Vatikan. Terletak di
Pasifik Barat, tepat di bawah garis khatulistiwa.
Gak lama lagi Brunei nyusul
BalasHapusHatimu busuk. Melihat nauru saja sdh kasihan, malah kau mendoakan negara lain seperti nauru. Ada apa dibalik hatimu nak. Semoga Allah menerangi hatimu.
Hapusatas ane ini gagal paham gan.
Hapushadeh.. gagal paham nak
HapusBrunei??hahaha..
HapusLihat negaramu dulu,hahaha
Mudah2an kita bisa mengambil hikmah dari peristiwa ini sehingga tidak terjadi di negara tercinta ini...............
BalasHapusTidak ada kesenangan yang ABADI,, Akan datang suatu masa kita akan meninggalkan kesenangan itu,
BalasHapuskarna mereka orang² yg tidak berpendidikan
BalasHapusAllah akan memelihara Brunei dan Insyaallah Allah akan kekal selamanya menjadi negara aman dan makmur di bawah lindunganNya...Brunei Negara Dzikir..Peace For All����
BalasHapusAllah akan memelihara Brunei dan Insyaallah Allah akan kekal selamanya menjadi negara aman dan makmur di bawah lindunganNya...Brunei Negara Dzikir..Peace For All����
BalasHapusBrunei harus cari sumber pendapatan negara selain minyak dan gas. Agar jangan sampai nasibnya seperti nauru yang bergantung pada 1 sumber pendapatan.
BalasHapusselagi brunei menjalankan hukum hudud selama itu lah brunei tidak akan dilaknah oleh allah.
BalasHapusoh tuhan tolonkanlah hambamu di negara Nauru
BalasHapus