sebuah artikel...
OLEH: INDRA JUMERI
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di
Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di
lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika
Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara
perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Hatta lahir dari keluarga
ulama Minangkabau,
Sumatera
Barat.
Masa Pendidikan
Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu Fort de Kock
dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya
ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah
lulus ujian masuk ke HBS
(setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar
tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta
melanjutkan studi ke MULO
di Padang.
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis
organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri
ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Sebagai bendahara Jong
Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya
perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari
sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa
tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya
menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
Salah seorang tokoh
politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis.
Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara.
Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah
berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische
Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal
tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak
tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913
sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di media massa.
Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang
"Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat
baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam,
Belanda
untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa
inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia
kemudian tinggal selama 11 tahun. Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda
untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai
anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi
Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu
kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia
Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun
1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Hatta lulus dalam ujian handels
economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh
ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada
tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu
hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong
oleh minatnya yang besar di bidang politik.
Perpanjangan rencana
studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17
Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang
berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen”–Struktur Ekonomi
Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi
dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.
Sejak tahun 1926
sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah
kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi
organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia.
Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di
Eropa.
PI melakukan
propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di
Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu
Hatta sendiri yang memimpin delegasi.
Pada tahun 1926,
dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia”, Hatta memimpin delegasi ke
Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa
banyak oposisi, “Indonesia” secara resmi diakui oleh kongres. Nama “Indonesia”
untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal
kalangan organisasi-organisasi internasional.
Hatta dan pergerakan
nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme
dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels
tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan
pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta
tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika
seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor
(Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu
pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi “Liga Wanita
Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan” di Gland, Swiss. Judul ceramah
Hatta L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Persoalan
Kemerdekaan).
Bersama dengan Nazir
St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta
dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah
pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang
yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang
kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama “Indonesia Vrij”, dan kemudian
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia
Merdeka.
Antara tahun
1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk
majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk
mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932,
Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia
tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah
menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan
berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai
Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada
kader-kadernya.
Pada tahun 1932 Bung Hatta kembali ke Indonesia setelah 11
tahun menuntut ilmu di Eropa. Sekembalinya diindonesia Bung Hatta langsung
terjun kemedan politik, memegang tampuk pimpinan partai Pendidikan Nasional
Indonesia yang didirikan tahun 1931 berdasarkan konsepsi Bung Hatta sendiri.
Waktu itulah saya sebagai anggota dan kader pendidikan nasional Indonesia
berkenalan dan mengenal Bung Hatta dari dekat.dalam memimpin partai Bung Hatta
mengunakan cara baru. Tidak lagi dengan cara agitasi dan demontrasi
semata-mata, tetapi diutamakan dengan cara pendidikan politik, menanamkan
pengertian dan kesadaran politik, membina watak, karakter,dan menanamkan
semangat percaya kepada diri sendiri serta rasa tanggung jawab. Pendidikan
politik ini diberikan kepada kader-kader partaim agar sadar akan hak dan
kewajibanya.
Cara Bung Hatta mengadakan pendidikan kepada kader-kader
partai, menunjukan pula, bahwa Bung Hatta mempunyai pandangan jauh kemuka,
yaitu perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka diperlukan pemimpin-pemimpin
yang teguh pendiriannya. Yang kuat watak dan karakternya, tahan uji untuk
menghadapi macam-macam percobaan dan penderitaan dalam perjuangan.
Pendidikan kader-kader yang dijalankan Bung Hatta ternyata
membawa hasil yang diharapkan. Waktu Bung Hatta, bung sjarir, maskun dan
pemimpin umum partai lainnya dibuang ke digul, partai tidak dibubarkan, tetapi
mditerukan dengan pimpinan baru terdiri dari kader-kader Bung Hatta. Karma
pemerintah hindia belanda mengadakan vergader verbod, larangan berkumpul
berdapat, pemilihan berapat, pemilihan pemimpin diadakan secara rahasia dengan
risiko ditangkap dan dibuang. Memang tiap-tiap pimpinan baru ditangkap datang
lagi yang menganti dan begitu seterusnya sampai datangnya pendudukan tentara
jepang. Pendidikan nasional Indonesia tidak pernah dibubarkan dengan resmi
sampai datangnya kemerdekaan sebagai seorang demokrat tulen, Bung Hatta
mendidik kader-kadernya tidak secara indoktrinasi, tidak dipaksakan, tetapi
memberikan pengertian dengan jalan diskusi.karna itu kursus kader itu diberi
nama debatings clup, yang artinya clup diskusi.juga sebagai seorang demokrat
Bung Hatta selamanya mennghargai pendapat orang lain, meskipun pendapat itu
berlainan dengan pendapatnya
Kepercayaan akan datangnya Indonesia merdeka tidak
tergoyahkan karna itu pada tahun 1932 sebagai pemimpin pendidikan nasional
indonesia beliau menyiapkan satu konsepsi. Bagaimana bentuk Indonesia merdeka
dan bentuk perekonomiannya. Konsepsinya ini diuraikan dalam karangannya
berjudul krarah Indonesia merdeka dan
dijadikan mata pelajaran dalam mendidik kader-kader partai. Bung Hatta seorang
pemikir yang memberikan nama kedaulatan raknyat pada konsepsi demokrasinya yang
mengandung arti democrat politik, demokrasi ekonomi dan social. Pendeknya dalam
istilah kedaulatan raknyat konsepsi Bung Hatta itu tercakup seluruh kehidupan
masyarakat untuk mencapai kemakmuran. Beliau mengatakan, volkssouveriniteit- kedaulatan raknyat model J.J Rousseau
berlainan dengan kedaulatan raknyat konsepsi Bung Hatta. Yang terdahulu
berdasarkan rasa bersama atau kolektiviet. Demokrasi atau kedaulatan raknyat
konsepsi Bung Hatta bersendi kepada demokrasi tua yang ada di Indonesia yang
mempunyai tiga ciri. Sebagai yang diuraikan dalam buku kearah Indonesia merdeka sebagai berikut:
1.
Cita-cita rapat yang
hidup dalam sanubari raknyat Indonesia zaman dahulu sampai sekarang. Rapat
ialah sutau lembaga tempat raknyat atau utusan raknyat bermusyawarah untuk
mencapai mufakat tentang segala urusan yang bersangkutan dengan persekutuan
hidup dan keperluan bersama. Disini tampaklah dasar demokrasi, pemerintah
raknyat yang dasarnya seia-sekata. Demokrasi tua hanya hidup didesa-desa di
Indonesia, sedang diatas masyarakat desa berlaku kekuasaan raja-raja atau kaum feodal yang bersifat otoriter.
2.
Cita-cita masa protes,
yaitu hak rakat untuk membantah dengan cara
umum segala peraturan negera yang dipandang tidak adil. Hal ini besar
artinya kepada pemerintahan despotisme atau atau otograsi yang tersusun di atas
pundak desa demokrasi dan demokrasi tidak dapat berlaku. Kalau tidak ada hak
rakyat untuk berdeka bergerak dan merdeka berkumpul.
3.
Cita-cita
tolong-menolong. Sanubari rakyat Indonesia penuh rasa bersama, kolektifitiet.
Kalau seorang di desa hendak membuat rumah atau mengerjakan sawah ataupun
ditimpa bala kematian, maka ia tidak perlu membayar tukang atau menggaji orang
kuli untuk menolong dia. Melainkan ia ditolong bersama-sama oleh oleh orang
desa. Disini tersimpan dasar perekonomian yang agak besar rakyat kita memakai
sifat usaha bersama. Dan perlu kita perhatikan lagi, bahwa tanah, yaitu mata
penghasilan orang seorang hanya mempunyai hak memakai- maka jelaslah, bahwa
persekutuan asli Indonesia memakai asas kolektivisme.
Bung Hatta seterusnya
menyatakan, Inilah sendi daripada demokrasi Indonesia: Jika lingkungan
(dasarnya diliaskan dan disesuaikan dengan kemajuan zaman. Ia menjadi dasar
kerakyaran yang seluas-luasnya yaitu kedaulatan rakyat.
Diatas sendi yang pertama yang kedua dapat didirikan
tiang-tiang politik daripada domkrasi yang sebenarnya satu pemerintahan Negara
yang dilakukan oleh rakyat dengan peraturan wakil-wakilnya atau badan-badan
perwakilan, sedangkan yang menjalankan kekuasaan pemerintahan senantiasa takluk
kepada kemauan rakyat. Untuk menyusun kemauan itu rakyat mempunyai hak yang
tidak boleh dihilangkan atau dibatalkan : hak merdeka bersama, berserikat dan
berkumpul.
Demikianlah dasar kedaulatan rakyat konsep Bung Hatta.
Mengenai ekonomi seterusnya Bung Hatta menegaskan, diatas sendi yang ketiga
didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tisak lagi orang seorang ata satu golongan
kecil yang meseti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang (Zaman
Hindia Belanda Wangsa Widjaya) melainkan
keperluan dan kemauan rakyat banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan
penhasilan.
Lebih lanjut konsepsi ekonomi Bung Hatta menegaskan sebagai
berikut : perekonomian Indonesia merdeka diatur dengan usaha bersama. Dengan
ini tidak dimaksud akan mematikan perusahaan yang kiecil-kecil yang hanya dapat
dikerjakan oleh orang seorang saja. Dan tidak menyingung keperluan umum dan
kemakmuran rakkyat semuanya. Desentrasi ekonomi dilakukan dengan mamakai koperasi
sebagai dasar perekonomian. Jadinya Indonesia ibarat satu taman berisi
pohon-pohon koperasi, yang buahny di pungut oleh rakyat yang banyak. Jadinya,
bukan koperasi yang bersaingan satu sama lain mencari untung besar, malainkan
yang bekerja bersama-sama untuk membela kebutuhan rakyat semuanya dan keperluan
umum seperti pelajaran, seni dan lain-lain.
Cukuplah kiranya saya mengemukakan intinya konsepsi
kedaulatan rakyat yang menjadi cita-cita Bung Hatta, termasuk konsepsi
ekonominya yang tegas dan gemblang.
Konsep kedaulatan Rakyat dan Ekonomi Bung Hatta yang saya
kemukakan tadi, sudah tertulis dalam UUD 1945 terutama mengenai ekonomi yag
tercantum dalam pasal 33 UUD 1945.
Dengan diuraikannya konsep Bung Hatta mengenai ekonomi
meskipun hanya garis bersarnya saja, terbantahlah ucapan Prof. Dr. Emil Salim
yang pernah mengatakan, Bahwa The
Founding fathers dari Repoblik kita ini dalam perjuangannya pada masa
lampau tidak pernah membaca atau mempelajarai buku-buku yang ditulis oleh Bung
Hatta, sehingga ia kemukakan yang tidak benar.
Masa Pembuangan.
Reaksi Hatta yang
keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah
Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores,
terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul “Soekarno
Ditahan” (10 Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap
Pemimpin” (10 Desember 1933).
Pada bulan Pebruari
1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan
perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai
Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya
berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan
Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin,
Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun
di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku
berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Pada bulan Januari
1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua).
Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja
untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan
dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan
makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta
menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di
Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak
perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan,
Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan.
Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula
membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang
khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai
cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di
pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan
pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, “Pengantar
ke Jalan llmu dan Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani.” (empat jilid).
Pada bulan Desember
1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat
pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya
berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa
Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan
penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang
sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3
Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942,
Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret
1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan
Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan
tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah
Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor
Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta
mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan
pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta
sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui,
apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu
didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan
September 1944.
Selama masa
pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di
Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942
menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari
penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi
jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda
Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada
mempunyainya sebagai jajahan orang kembali.”
Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua.
Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari
Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral
Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan
harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta,
Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk
menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks
proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan
kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya
ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut
ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir
menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam
10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai
Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil
Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden
dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Periode Mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha
Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia
pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda
menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu
berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung
Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan
menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik
yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri
Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes
dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September
1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan
agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun
perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di
mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang
mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima
pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik
Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif
memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga
tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan
koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan
cita-cita dalam konsepsi ekonominya.
Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio
untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta
dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai
Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung.
Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam
bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila
parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan
diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu
diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono.
Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka
secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua
Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya
sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung
Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan
akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah
Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato
pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil
Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan
tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru
besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang
memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas
Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato
pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis “Demokrasi Kita” dalam
majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan
pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia
waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan
negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus. Hatta menikah
dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor,
Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala
Rabi’ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang
pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil
Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita
Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan
kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi “Bintang
Republik Indonesia Kelas I” pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar